Penelitianini bertujuan untuk menganalisis asal mula dan penerapan praperadilan dalam kaitannya dengan Habeas Corpus dan menelisik sejauh mana pranata hukum Habeas Corpus dari sistem peradilan pidana Inggris ini diadaptasikan ke dalam sistem peradilan pidana Indonesia berpotensi berkembang menjadi malicious. Padadasarnya asas legalitas lazim disebut juga dengan terminologi "principle of legality", "legaliteitbeginsel", "non-retroaktif", "de la legalite" atau "ex post facto laws".Ketentuan asas legalitas diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia yang berbunyi: "Tiada suatu peristiwa dapat dipidana selain dari kekuatan ketentuan undang Walaupunbertumpu pada sistem Belanda, hukum pidana Indonesia dapat dipisahkan dalam dua kategori, yaitu hukum pidana acara dan hukum pidana materiil. Hukum pidana acara dapat disebut dalam Bahasa Inggris sebagai "procedural law" dan hukum pidana materiil sebagai "substantive law". Sistemhukum Indonesia misalnya, baik dalam lapangan hukum pidana, hukum perdata maupun hukum tata negara masih tetap menggunakan sistem hukum dan metoda pendekatan sistem hukum "Civil Law". Sistem hukum "civil law" menempatkan kodifikasi hukum sebagai sumber hukum satu-satunya didalam praktek penerapan hukum. PerbandinganHukum Pidana. Semarang: Badan Penyediaan Bahan Kuliah FH-UNDIP, 1986. Atmasasmita, Romly. Perbandingan Hukum Pidana. Bandung: Mandar Maju Badan Pembinaan Hukum Nasional. Himpunan Laporan Hasil Pengkajian Bidang Hukum Pidana Tahun 1980/1981. Jakarta: BPHN, 1985. Bemmelen, J.M van. Hukum Pidana 1: Hukum Pidana Material Bagian Umum. Dalamhukum pidana inggris dikenal 2 (dua) macam pertanggungjawaban pidana, namun keduanya ini tidak dikenal dalam hukum pidana di Indonesia. adapaun kedia macam pertanggungjawaban pidana tersebut antara lain : 1. Strict liablity crimes 2. Vicarious liability PERBANDINGANDELIK PERCOBAAN DALAM HUKUM PIDANA INGGRIS DAN HUKUM PIDANA INDONESIA RomIiAtmsasmita,2OO2, Parbandingan Hukum Pidanc, RajawaIi, Jakarta. MuIadi,I997,HakAsasiManusia poIitik dan Sistim PeradIanPdana.Universitas Diponegoro. Semarang.hIm.I5I . B. Perundng-undangan . Hukum Pidana lndonesia Undang-Undang No.I Tahun I946 tantang Paraturan Pidana. Singapur, Undang-Undang KUHP 224 Bab XVl PasaI 3OO. aTgXT0B. Sebagian besar masyarakat masih kurang memahami adanya tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi. Hal ini disebabkan karakteristik tindak pidana korporasi ini adalah sangat kompleks, disamping itu yang tidak kalah penting menyebabkan sampai tidak dikenalnya tindak pidana korporasi di masyarakat adalah memang tidak diaturnya tindak pidana korporasi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP, namun secara parsial sudah banyakdiatur dalam hukum pidana di luar KUHP. Proses moderenisasi dan pembangunan ekonomi, menunjukkan bahwa korporasi berperan penting dalam kehidupan masyarakat, namun demikian, tidak jarang korporasi dalam mencapai tujuannya melakukan aktivitas yang menyimpang atau bertentangan dengan hukum pidana dengan modus operandi yang karena itu, kedudukan korporasi sebagai subjek hukum keperdataan telah bergeser menjadi tindak pidana, disamping tindak pidana manusia alamiah Natuurlijk person. Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui dapat tidaknya korporasi dimintai pertanggungjawaban pidana serta cara membuktikan bahwa korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana korupsi. Jenis penelitian yang digunakan ialah penelitian hukum normatif, jenis penelitian ini menggunakan 4 jenis pendekatan yang makan pendekatan tersebut adalah pendekatan undang-undang, pendekatan analisis konsep hukum, pendekatan sejarah dan pendekatan perbandingan, serta menggunakan bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Dapat tidaknya korporasi dimintai pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana, sejatinya korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban pidana, sepanjang korporasi itu telah memperoleh status kebadanhukumannya yang sah maka korporasi itu bisa dibebani pertanggungjawabana secara pidana. Cara membuktikan korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana korupsi dengan menggunakan pertanggungjawaban mutlak Strict liability, pertanggungjawaban pengganti Vicarious liability serta mengadopsi teori identifikasi Identification theory kedalam penanganan tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi. Kata kunci Korporasi, Korupsi, Pertanggungjawaban pidana MAKALAH HUKUM INTERNASIONALPerbandingan Hukum Pidana Indonesia dengan Hukum Pidana Inggris“Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Internasional”Disusun Oleh Romi SaputraKEMENTRIAN RISET TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGIUNIVERSITAS RIAUFAKULTAS HUKUM2022Perbandingan Hukum Pidana Indonesia dengan Hukum Pidana InggrisA. Perbandingan Dan Perbedaan Asas Legalitas Indonesia Dengan Asas Legalitas Inggris Asas Legalitas di Indonesia Asas legalitas di Indonesia terdapat dalam pasal 1 ayat 1 KUHP yang berbunyi ”tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturanpidana dalam perundang- undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”.Konsekuensi dari pasal tersebut ialah bahwa perbuatan seseorang yang tidak tercantum dalam undang-undang sebagai suatu tindak pidana juga tidak dapatdipidana; jadi dengan asas ini hukum yang tidak tertulis tidak memiliki kekuatan hukum untuk diterapkan. Namun atas hal itu dikecualikan terhadap daerah-daerah yang dulu termasuk kekuasaan pengadilan swapraja dan pengadilan adat dengan dilakukan pembatasan-pembatasan tertentu itu KUHP Indonesia juga melarang adanya analogi terhadap suatu perbuatan konkret yang tidak diatur oleh undang-undang. Asas Legalitas Di Inggris Asas Legalitas di Inggris walaupun asas ini tidak pernah secara formal dirumuskan dalam perundang-undangan, namun asas ini menjiwai putusan-putusan pengadilan. Karena bersumber pada case law, pada mulanya pengadilan di inggris merasa dirinya berhak menciptakan delik. Namun dalam perkembangannya, pada 1972 House of Lords menolak secara bulat adanya kekuasaan pengadilan untuk menciptakan delik-delik baru atau memperluas delik yang ada. Jadi tampaknya ada pergeseran dari asas legalitas dalam pengertian materiil ke asas legalitas dalam pengertian pengertian formal. Artinya, suatu delik oleh hakim berdasarkan common law hukum kebiasaan yang dikembangkan lewat putusan pengadilan, namun dalam perkembangannya hanya dapat ditetapkan berdasarkan undang-undang statute law. Sehingga di dalam Sistem Hukum Inggris yaitu Common Law dimana prinsipnya hukum tidak tertulis yang jadi patokan nilai yang ada pada masyarakat. Peran hakim menciptakan kaidah-kaidah hukum yang mengatur tata kehidupan masyarakat. Hakim terikat pada prinsip hukum dalam putusan pengadilan yang sudah ada dari perkara-perkara sejenis asas doctrine of precedent. Sumber hukum utama adalah putusan hakim yurisprudensi. Sehingga dari kedua Asas diatas dapat diketahui perbedaannya yaitu Asas Legalitas dalam Sistem Hukum Inggris adalah tidak ada perbuatan yang dapat dipidana kalau tidak ada aturan yang mengatur hal tersebut dimana aturan tersebut bersumber dari putusan hakim yurisprudensi. Jadi dalam memutuskan suatu perbuatan pidana di inggris biasanya bersumber pada yurisprudensi hakim. Asas Legalitas dalam Sistem Hukum Indonesia adalah tidak ada perbuatan yang dapat dipidana kalau tidak ada aturan yang mengatur hal tersebut dimana aturan tersebut bersumber dari peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dan dalam pemutusan suatu perbuatan pidana Indonesia tetap bersumber menurut peraturan perundang- undangan yang berlaku. singkat liability without fault pertanggungjawaban tanpa kesalahan. Menurut common law, Strict Liability berlaku terhadap 3 macam delik a Public nuisance gangguan terhadap ketertiban umum, menghalangi jalan raya, mengeluarkan bau tidak enak yang mengganggu lingkungan. b Criminal libel penghinaan/fitnah, pencemaran nama baik c Contempt of Court pelanggaran tata tertib di pengadilan Misalnya mengancam Jaksa, hakim dan pertanggungjawaban mutlak strict Liability merupakan prinsip pertanggung jawaban hukum liability yang telah berkembang sejak lama yang berawal dari sebuah kasus di Inggris yaitu Rylands v. Fletcher tahun 1868. Dalam kasus ini Pengadilan tingkat kasasi di Inggris melahirkan suatu kriteria yang menentukan, bahwa suatu kegiatan atau penggunaan sumber daya dapat dikenai strict liability jika penggunaan tersebut bersifat non natural atau di luar kelaziman, atau tidak seperti biasanya. Jenis pertanggung jawaban ini muncul sebagai reaksi atas segala kekurangan dari system atau jenis pertanggungjawaban fault based liability. Pertanggung jawaban hukum konvensional selama ini menganut asas pertanggung jawaban berdasarkan kesalahan liability based on fault, artinya bahwa tidak seorangpun dapat dikenai tanggung jawab jika pada dirinya tidak terdapat unsur-unsur kesalahan. Dalam kasus lingkungan dokrin tersebut akan melahirkan kendala bagi penegakan hukum dipengadilan karena dokrin ini tidak mampu mengantisipasi secara efektif dampak dari kegiatan industri modern yang mengandung resiko-resiko potensial. Pertanggung jawaban mutlak pada awalnya berkembang dinegara-negara yang menganut sistem hukum anglo saxon atau common law, walaupun kemudian mengalami perubahan perkembangan dibeberapa negara untuk mengadopsinya. Beberapa negara yang menganut asas ini antara lain Inggris, Amerika, Belanda, Thailand. Related PapersSebagian besar masyarakat masih kurang memahami adanya tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi. Hal ini disebabkan karakteristik tindak pidana korporasi ini adalah sangat kompleks, disamping itu yang tidak kalah penting menyebabkan sampai tidak dikenalnya tindak pidana korporasi di masyarakat adalah memang tidak diaturnya tindak pidana korporasi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUHP, namun secara parsial sudah banyakdiatur dalam hukum pidana di luar KUHP. Proses moderenisasi dan pembangunan ekonomi, menunjukkan bahwa korporasi berperan penting dalam kehidupan masyarakat, namun demikian, tidak jarang korporasi dalam mencapai tujuannya melakukan aktivitas yang menyimpang atau bertentangan dengan hukum pidana dengan modus operandi yang karena itu, kedudukan korporasi sebagai subjek hukum keperdataan telah bergeser menjadi tindak pidana, disamping tindak pidana manusia alamiah Natuurlijk person. Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengetahui dapat tidaknya korporasi dimintai pertanggungjawaban pidana serta cara membuktikan bahwa korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana korupsi. Jenis penelitian yang digunakan ialah penelitian hukum normatif, jenis penelitian ini menggunakan 4 jenis pendekatan yang makan pendekatan tersebut adalah pendekatan undang-undang, pendekatan analisis konsep hukum, pendekatan sejarah dan pendekatan perbandingan, serta menggunakan bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Dapat tidaknya korporasi dimintai pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana, sejatinya korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban pidana, sepanjang korporasi itu telah memperoleh status kebadanhukumannya yang sah maka korporasi itu bisa dibebani pertanggungjawabana secara pidana. Cara membuktikan korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban pidana dalam tindak pidana korupsi dengan menggunakan pertanggungjawaban mutlak Strict liability, pertanggungjawaban pengganti Vicarious liability serta mengadopsi teori identifikasi Identification theory kedalam penanganan tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi. Kata kunci Korporasi, Korupsi, Pertanggungjawaban pidanaPertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Kejahatan Hak Cipta © April 2018 Eklektikus Ahmad Mahyani, Editor Tomy Michael Master Desain Tata Letak Eko Puji Sulistyo Angka Standar Buku Internasional 978-602-1176-32-0 Perpustakaan Nasional Republik Indonesia Katalog Dalam Terbitan Sebagian atau seluruh isi buku ini dilarang digunakan atau direproduksi dengan tujuan komersial dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari kecuali dalam hal penukilan untuk keperluan artikel atau karangan ilmiah dengan menyebutkan judul dan penerbit buku ini secara lengkap sebagai sumber referensi. Terima kasih PENERBIT PERTAMA DENGAN KODE BATANG UNIK PRAKATA Tidak dikategorikannya sebuah korporasi sebagai subjek hukum pidana dalam Undang-Undang Hak Cipta ini, berakibat korporasi tidak dapat dituntut bertanggungjawab secara pidana. Korporasi yang melakukan kejahatan terhadap hak cipta ini seolah-olah memperoleh hak impunity, yaitu kebebasan dari hukuman atas kejahatannya dalam bentuk pembajakan, memperbanyak dan memperjual belikan karya cipta seseorang. Padahal kerugian yang ditimbulkan oleh korporasi pelaku kejahatan hak cipta ini sangat besar akibatnya bagi negara maupun bagi pemilik atau pemegang hak cipta dibandingkan bila pelakunya adalah perorangan. Pertanggungjawaban yang dilimpahkan kepada pengurus korporasi, baik itu direktur, manajer, kepala bagian, operator, bahkan sampai karyawan bawah sekalipun yang telah berlangsung selama ini terbukti tidak berhasil menimbulkan deterrent effect. Penelitian ini ingin menunjukkan bahwa dalam hal pelangaran hak cipta, korporasi yang melakukannya harus dapat dituntut secara pidana berikut pengurusnya dengan pidana denda yang maksimal agar kejahatan tersebut tidak terulang lagi dikemudian hari, beserta teori yang cocok untuk diterapkan. Dipaparkan pula pemikiran untuk lebih mengedepankan aspek primum remedium bila pelanggaran ini telah mencapai taraf yang meresahkan dan menimbulkan gangguan secara luas. Disarankan untuk mengambil alih korporasi yang melakukan pelanggaran hak cipta bila penerapan aspek primum remedium berakibat bangkrutnya korporasi, sehingga karyawannya tidak kehilangan pekerjaan. Akhirnya, karya buku yang diambil dari tesis penulis Agustus 2012 dapat dimanfaatkan sebagai penambah wawasan pengetahuan di bidang perlindungan hak cipta, tidak saja khusus untuk para mahasiswa namun juga bagi khalayak umum yang membutuhkannya. Surabaya, Maret 2018 Penulis Ahmad Mahyani, Skripsi ini adalah hasil penelitian tentang kajian komparatif asas kesalahan menurut kitab undang-undang hukum pidana indonesia dan kitab undang-undang hukum pidana jerman, bahwa untuk mempidana pelaku tindak pidana harus secara objektif telah melakukan tindak pidana dan secara subyektif harus ada kesalahan yang dikenal sebagai asas kesalahan atau geen straf zonder schuld, namun KUHP Indonesia tidak meformulasikan secara eksplisit mengenai asas kesalahan ini, berbeda dengan KUHP Indonesia, Germani Criminal Code yang sama-sama menganut civil law merumuskan secara eksplisit mengenai asas kesalahan sebagai salah satu prinsip monodualistik. Maka dapat dilihat dengan jelas perbedaan bahwa KUHP Indonesia tidak merumuskan secara eksplisit asas kesalahan, sedangkan Jerman mengatur asas kesalahan secara eksplisit dalam Germani criminal code. Tujuan dari penelitian ini adalah 1 membandingkan, mengetahui dan menjelaskan pengaturan asas kesalahan di Indonesia dan di Jerman dan 2 Untuk mengkaji kebijakan formulasi asas kesalahan dalam pembaharuan hukum pidana Indonesia. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis-normatif sebagai pendekatan utama dan pendekatan komparatif yaitu mengenai masalah asas kesalahan antara Indonesia dengan KUHP Negara Jerman. Objek utama penelitian ini adalah data sekunder yang meliputi bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Metode penelitian data menggunakan langkah langkah 1 mengidentifikasi fakta hukum tentang asas kesalahan 2 mengumpulkan bahan-bahan yang berkaitan dengan asas kesalahan dalam KUHP Indonesia, KUHP Jerman, dan Asas kesalahan dan perspektif pembaharuan hukum pidana 3 menarik analisa dalam bentuk argumentasi 4 memberikan penilaian berdasar argumentasi yang di bangun dalam kesimpulan. Tehnik pengumpulan data ditempuh dengan studi pustaka. Sedangkan analisis data dilakukan dengan metode analisis kualitatif. Hasil penelitian menunjukan bahwa KUHP Indonesia tidak memformulasikan secara eksplit asas kesalahan baik dalam ketentuan umum maupun dalam ketentuan khusus, namun dalam Pasal-Pasal tindak pidana yang dilanggar secara implisit untuk mempidana seseorang melakukan tindak pidana harus ada kesalahan baik dalam bentuk kesengajaan ataupun kelalaian, sedangkan di Jerman mengatur dan memanifestasikan Asas kesalahan, dalam Germani Criminal Code pada Bab II KUHP Republik Demokrasi Jerman Jerman Timur 1968, yang pada saat itu Jerman Masih menjadi Negara bagian yaitu Jerman Barat dan Jerman Timur, dan setelah Negara Jerman Bersatu Pada tahun 1990 dalam amandemen Germani Criminal Code Asas Kesalahan ditempatkan dalam 1 pasal Aturan Umum dan terbagi menjadi 2, yaitu Kesalahan Fakta dan Kesalahan Hukum. dalam hukum pidana nasional yang akan datang asas kesalahan diatur secara eksplisit dalam ketentuan umum KUHP Indonesia pasangan asas legalitas. Kata Kunci Kajian Komparatif, Asas Kesalahan, Pembaharuan Hukum Pidana Nasional,This research aimed to analyse and giving description on penal responsibility application in Criminal Code and Law Number 8 Year 1999 on Consumer Protection. Legal issues in this research are how the corporate's criminal responsibility in Criminal Code and Law on Consumer Protection. The result shows that corporate's criminal responsibilities in not regulated in Criminal Code, the criminal law subject is persons. The criminal code adopt sociates delinquere non potest principle, means corporate is not able to conduct crimes. Corporate is a subject of criminal law can be found in Law on Consumer Protection. Corporate's criminal responsibility can be imposed to corporate itself even tough in such act corporate is not have fault factors, this matter based on strict liability theory. Corporate's responsility can be imposed by the actions of corporate directors, as substitute responsibility of corporate directors actions, this matter based on vicarious liability. Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan memberikan gambaran penerapan pertanggungjawaban pidana korporasi dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Isu hukum dalam penelitian ini meliputi Bagaimana pertanggungjawaban pidana korporasi dalam Hukum Pidana, Bagaimana pertanggungjawaban pidana korporasi dalam undang-undang perlindungan konsumen. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pertanggungjawaban korporasi tidak diatur di dalam KUHP, subyek hukum pidana hanyalah orang perseorangan. KUHP masih menganut asas sociates delinquere non potest yaitu korporasi tidak dapat melakukan tindak pidana. Korporasi dipandang sebagai subyek dalam hukum pidana, hal ini dapat ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Pertanggungjawaban pidana korporasi dapat dibebankan kepada korporasi meskipun dalam perbuatan pidana tersebut korporasi tidak memiliki unsur kesalahan, hal ini mengacu pada teori strict liability. Korporasi dipertanggungjawabankan atas perbuatan yang dilakukan oleh para pengurus korporasi tersebut, korporasi sebagai pertanggungjawaban pengganti atas perbuatan yang dilakukan pengurus korporasi, hal ini mengacu pada teori vicarious ini merupakan tugas kelompok yang berisi mengenai ringkasan materi tentang Tindak PIdana, Implementasi di INdonesia dan analisis mengenai tindak pidana yang dibahas dalam buku yang kami ringkas